Nama: Francis Mere
Kira Gere
NIM : STK 114054
Program Studi :THP
Tugas :
EKOLOGI PERAIRAN
FAKTOR
BIOTIK DAN ABIOTIK
Pengertian
biotik dan abiotik
(+) Faktor biotik
Faktor biotik adalah faktor hidup yang
meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik
tumbuhan maupun hewan. Dalam
ekosistem, tumbuhan berperan sebagai produsen,
hewan berperan sebagai konsumen,
dan mikroorganisme berperan sebagai
dekomposer.
(+) faktor abiotik
Faktor abiotik adalah faktor tak
hidup yang meliputi faktor fisik dan kimia. Faktor
fisik
utama yang mempengaruhi ekosistem.
Seperti:
1.
Suhu
2.
Sinar
matahari
3.
Tanah
4.
Air
5.
Ketinggian
6.
Angin
7.
Garis
lintang
a.
Suhu
Suhu berpengaruh terhadap
ekosistem karena suhu merupakan syarat yang
diperlukan organisme untuk hidup.
Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat
hidup pada kisaran suhu tertentu.
b.
Sinar matahari
Sinar matahari mempengaruhi
ekosistem secara global karena matahari menentukan
suhu. Sinar matahari juga
merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tumbuhan
sebagai produsen untuk berfotosintesis.
c.
Air
Air berpengaruh terhadap
ekosistem karena air dibutuhkan untuk kelangsungan
hidup organisme. Bagi tumbuhan,
air diperlukan dalam pertumbuhan,
perkecambahan, dan penyebaran
biji; bagi hewan dan manusia, air diperlukan
sebagai air minum dan sarana
hidup lain, misalnya transportasi bagi manusia, dan
tempat hidup bagi ikan. Bagi
unsur abiotik lain, misalnya tanah dan batuan, air
diperlukan sebagai pelarut dan
pelapuk.
d.
Tanah
Tanah merupakan tempat hidup bagi
organisme. Jenis tanah yang berbeda
menyebabkan organisme yang hidup
didalamnya juga berbeda. Tanah juga
menyediakan unsur-unsur penting
bagi pertumbuhan organisme, terutama
tumbuhan.
e.
Ketinggian
Ketinggian tempat menentukan
jenis organisme yang hidup di tempat tersebut,
karena ketinggian yang berbeda
akan menghasilkan kondisi fisik dan kimia yang
berbeda.
f.
Angin
Angin selain berperan dalam
menentukan kelembapan juga berperan dalam
penyebaran biji tumbuhan
tertentu.
g. Garis lintang
Garis lintang yang berbeda
menunjukkan kondisi lingkungan yang berbeda pula.
Garis lintang secara tak langsung
menyebabkan perbedaan distribusi organisme di
permukaan bumi. Ada organisme
yang mampu hidup pada garis lintang tertentu
saja.
Faktor
biotik dan abiotik untuk daerah temperate,suptropis,dan tropis (kutup utara dan
kutup selatan ) (artik dan antartika)
Hubungan itu bisa
terjadi baik lingkungan abiotik maupun lingkungan biotik.
Maksudnya antara
faktor abiotik (lingkungan) dengan faktor biotik (mahkluk hidup ) dalam
ekosistem dapat saling mempengaruhi.
Maka dari itu
dengan mengetahui ciri fisik abiotik akan mudah mengenal pula faktor biotik
yang ada di dalamnya , begitu sebaliknya dengan mengetahui mahkluk hidup yang
ada kita pasti bisa memprediksikan komponen yang terjadi pada abiotiknya,
Faktor abiotik
merupakan faktor faktor yang membicarakan lingkungan tempat keberadaan yang
mempengaruhi makhluk hidup . misalnya suhu , kelembaban , curah hujan , cahaya
dll
Faktor lingkungan
itu menentukan kualitas mahkluk hidup yang ada didalamnya setiap hariinya
Jika pencatatan
data abiotik berupa faktor fisik itu dicatatnya dalam bentuk harian disebut
cuaca , namun jika catatn itu konstan setiap tahunnya maka disebut iklim.
Jadi iklim sebagai interaksi faktor abiotik sudah tercatat
tetap dengan mencatatnya dari rata rata cuaaca dalam tahunan , misalnya
tercatat suhu sekitar 20 - 30 o C ya pasti Iklim Tropis .
Faktor lingkungan abiotik adalah
faktor yang paling berperan dalam menyebabkan stres fisiologis . Komponen
lingkungan abiotik utama yang pengaruhnya nyata terhadap ternak adalah
temperatur, kelembaban, curah hujan, angin dan radiasi matahari .
Temperatur lingkungan adalah ukuran
dari intensitas panas dalam unit standar dan biasanya diekspresikan dalam skala
derajat celsius. Secara umum, temperatur udara adalah faktor bioklimat tunggal
yang penting dalam lingkungan fisik ternak. Supaya ternak dapat hidup nyaman
dan proses fisiologi dapat berfungsi normal, dibutuhkan temperatur lingkungan
yang sesuai. Banyak species ternak membutuhkan temperatur nyaman 13 – 18 oC
atau Temperature Humidity Index (THI) < 72.
Setiap hewan mempunyai kisaran
temperatur lingkungan yang paling sesuai yang disebut Comfort Zone. Temperatur
lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah
10°C-27°C (50°F-80°F). Sedangkan keadaan lingkungan yang ideal untuk ternak di
daerah sub tropis (sapi perah) adalah pada temperatur antara 30°F-60°F dan
dengan kelembaban rendah. Selain itu, sapi FH maupun PFH memerlukan persyaratan
iklim dengan ketinggian tempat ± 1000 m dari permukaan laut, suhu berkisar
antara 15°- 21°C dan kelembaban udaranya diatas 55 persen. Kenaikan temperatur
udara di atas 60°F relatif mempunyai sedikit efek terhadap produksi.
Adaptasi
morfologi,fisiologi dan tingkah laku makluk hidup
adaptasi
mofologi,fisiologi,dan tingkah laku makluk hidup di daerah temperate,subtropis
dan tropis
1. Adaptasi
morfologi
Adaptasi morfologi
merupakan penyesuaian bentuk tubuh untuk kelangsungan
hidupnya.
Masing-masing genus meiofauna memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap
kondisi ekologi sejalan dengan seberapa jauh keberhasilannya mengembangkan
mekanisme adaptasi. Hal tersebut memungkinkan faktor-faktor ekologik mengatur
komposisi dan ukuran komunitas meiofauna. Dalam menghadapi perubahan kondisi
lingkungan di habitatnya, meiofauna telah mengembangkan berbagai bentuk
adaptasi morfologi. Adaptasi morfologi yang dimaksud adalah adaptasi ukuran
tubuh, adaptasi bentuk tubuh, penyederhanaan organ dan memperkuat dinding tubuh
serta mengembangkan alat pelekat 22
Semua
organisme meiofauna berukuran sangat kecil. Adaptasi yang sangat nyata terhadap
lingkungan dinamis adalah ukuran dan bentuk tubuh. Ukuran tubuh meiofauna
interstisial berkisar 0.63–1 mm (63–1.000 μm). Kebanyakan organisme meiofauna
mempunyai bentuk tubuh memanjang atau seperti plat, dan ada juga berbentuk
silinder. Umumnya meiofauna melakukan pelangsingan tubuh dan meningkatkan
fleksibilitas tubuh. Bentuk tubuh seperti flat, organisme meiofauna dapat
melekatkan dirinya pada ruang yang sempit pada butiran sedimen. Adaptasi ini
agar meiofauna dapat tetap tinggal dalam ruang sedimen yang sempit, sehingga
terbebas dari pengaruh selama proses suspensi kembali (resuspensi) ke atas.
Dalam lingkungan sedimen yang gelap, meiofauna melakukan adaptasi dengan
mereduksi mata dan pigmen tubuhnya.
Adaptasi yang dikembangkan
meiofauna dalam perkembangbiakan adalah menghasilkan sedikit gamet tetapi
mempunyai ukuran yang besar. Pada kondisi tertentu, meiofauna melakukan
pembiakan secara hermafrodit dan partenogenesis.
Contoh adaptasi morfologi, antara
lain sebagai berikut.
a.
Gigi-gigi khusus
Gigi hewan karnivora atau pemakan
daging beradaptasi menjadi empat gigi taring
besar dan runcing untuk menangkap
mangsa, serta gigi geraham dengan ujung
pemotong yang tajam untuk
mencabik-cabik mangsanya.
b.
Moncong
Trenggiling besar adalah hewan
menyusui yang hidup di hutan rimba Amerika
Tengah dan Selatan. Makanan
trenggiling adalah semut, rayap, dan serangga lain
yang merayap. Hewan ini mempunyai
moncong panjang dengan ujung mulut kecil
tak bergigi dengan lubang
berbentuk celah kecil untuk mengisap semut dari
sarangnya. Hewan ini mempunyai
lidah panjang dan bergetah yangdapat dijulurkan
jauh keluar mulut untuk menangkap
serangga.
c.
Paruh
Elang memiliki paruh yang kuat
dengan rahang atas yang melengkung dan ujungnya
tajam. Fungsi paruh untuk
mencengkeram korbannya.
d.
Daun
Tumbuhan insektivora (tumbuhan
pemakan serangga), misalnya kantong semar,
memiliki daun yang berbentuk
piala dengan permukaan dalam yang licin sehingga
dapat menggelincirkan serangga
yang hinggap. Dengan enzim yang dimiliki
tumbuhan insektivora, serangga
tersebut akan dilumatkan, sehingga tumbuhan ini
memperoleh unsur yang diperlukan.
e.
Akar
Akar tumbuhan gurun kuat dan
panjang,berfungsi untuk menyerap air yang terdapat
jauh di
dalam tanah. Sedangkan akar hawa pada tumbuhan bakau untuk bernapas.
2.
Adaptasi fsiologi
Adaptasi fisiologi
merupakan penyesuaian fungsi fisiologi tubuh untuk
mempertahankan
hidupnya. Meiofauna mampu mengembangkan adaptasi fisiologi terhadap kondisi
lingkungan bentik untuk kelangsungan hidupnya di bawah kondisi yang kurang
oksigen. Adaptasi fisiologi genus meiofauna terhadap kandungan oksigen yang
rendah adalah dengan cara: 1) mengurangi (mereduksi) aktivitas dan metabolisme,
2) mengembangkan pigmen darah dengan mengikat oksigen yang sangat tinggi, dan
3) respirasi anaerob dengan menghasilkan dan mengeluarkan hasil akhir
pernafasan. Kondisi lingkungan bentik yang kurang oksigen ini berkaitan dengan
keberadaan senyawa sulfida (H2S) dalam sedimen.
Terkait
dengan adaptasi meiofauna pada sedimen yang mengandung H2S
dengan kondisi oksigen yang rendah, maka meiofauna mempunyai hubungan simbiotik
yang berkembang sehingga dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut. Meiofauna
yang toleran terhadap H2S dan mampu hidup pada kadar oksigen yang rendah
atau miskin oksigen disebut dengan thiobios. Beberapa meiofauna yang
mampu hidup pada kondisi yang demikian adalah Nematoda, Ciliata,
Platyhelminthes, Gnathostomulida, Gastrotricha, Oligochaeta dan Aschelmintes.
Meiofauna
interstisial permanen memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil, sehingga gamet
yang dihasilkannya pada suatu waktu terbatas jumlahnya. Produksi telur yang
dihasilkan meiofauna hampir selalu kurang dari 100 per individu dan biasanya
antara satu dan sepuluh telur (Nybakken & Bertness 2005). Karena jumlah
telur yang dihasilkan sangat sedikit, maka suatu genus tak boleh kehilangan
banyak telur agar dapat menghasilkan generasi penerusnya. Untuk dapat menjamin
kelangsungan hidup generasinya, maka meiofauna telah mempunyai berbagai
strategi adaptasi, yaitu: 1) adaptasi yang menjamin terjadinya fertilisasi
dengan cara: (i) berkopulasi, dalam hal ini terjadi pemindahan sperma langsung
kepada meiofauna betina (misalnya pada Copepoda harpacticoid), (ii) membungkus
semua sperma dalam satu unit spermatophora dan melekatkannya pada
meiofauna betina, dengan demikian tersedia sperma untuk membuahi telur yang
dikeluarkan (misalnya pada Polychaeta), dan (iii) genus meiofauna yang bersifat
hermafrodit memiliki sistem jantan dan betina, sehingga dapat menjamin
fertilisasi (misalnya Gastrotricha dan Polychaeta); dan 2) adaptasi
pemeliharaan telur dan perlindungan anak-anaknya.
Selain itu, strategi adaptasi
yang dikembangkan oleh meiofauna adalah melengkapi perekat pada telur yang
dikeluarkannya sehingga dengan cepat menempel pada substrat atau terbungkus
dalam kokon yang mudah melekat. Ketika telur menetas mengeluarkan larva, maka
larva tersebut tetap berada pada ruangan antarbutiran sedimen karena larva yang
dihasilkannya tidak bersifat planktonik.
Contohnya adalah sebagai berikut.
a.
Kelenjar bau
Musang dapat mensekresikan bau
busukdengan cara menyemprotkan cairan melalui
sisi lubang dubur. Sekret
tersebut berfungsi untuk menghindarkan diri dari
musuhnya.
b.
Kantong tinta
Cumi-cumi dan gurita memiliki
kantong tinta yang berisi cairan hitam. Bila musuh
datang, tinta disemprotkan ke
dalam air sekitarnya sehingga musuh tidak dapat
melihat kedudukan cumi-cumi dan
gurita.
c.
Mimikri pada kadal
Kulit kadal dapat berubah warna
karena pigmen yang dikandungnya. Perubahan
warna ini dipengaruhi oleh faktor
dalam berupa hormon dan faktor luar berupa suhu
serta
keadaan sekitarnya.
3.
Adaptasi tingkah laku
Adaptasi
tingkah laku merupakan adaptasi yang didasarkan pada tingkah laku. Perilaku
migrasi juga dapat diperlihatkan oleh meiofauna. Dalam beberapa kasus, genus
meiofauna lebih atau kurang mengandalkan transpor pasif oleh arus pasang. Ketika
munculnya pasang, meiofauna akan ditranspor secara pasif walaupun meiofauna
bergerak dengan pelan-pelan pada permukaan sedimen. Beberapa genus meiofauna
dapat beradaptasi untuk menghadapi pengaruh arus pasang, yaitu dengan
mengembangkan mekanisme organ renang. Bagi meiofauna yang dapat berenang secara
aktif dapat melakukan migrasi ke kolom air. Pada fase muda, meiofauna berenang
secara aktif ke lapisan air di atasnya dan disebarkan ke laut oleh arus.
Sementara itu, meiofauna fase dewasa cenderung berada dekat dasar dan kemudian
disebarkan kembali oleh arus. Meiofauna yang terbawa oleh arus pasang tersebut
akan mengembangkan adaptasi perilaku untuk membuat dan menempati habitat yang
baru.
Meiofauna dapat
beradaptasi terhadap perubahan musim. Pada musim dingin di daerah mangrove,
ketika bahan organik terakumulasi ke dalam sedimen, genus meiofauna dari family
Chromadoridae (taksa Nematoda) tetap berada di dalam sedimen. Meiofauna ini
dapat beradaptasi terhadap kondisi lingkungan sedimen yang sangat dingin. Pada
musim panas, mereka bermunculan kembali untuk membentuk koloni yang baru.
Strategi adaptasi perilaku meiofauna terhadap perubahan musim dari famili
Chromadoridae ini berbeda dengan famili Monhystiridae yang hanya tercatat pada
waktu pertumbuhan alga mencapai puncaknya, dan fauna ini berasosiasi dengan
proses dekomposisi makrofita. Kehadirannya pada musim ini menggambarkan
peranannya dalam proses dekomposisi dengan memangsa bakteri
Contohnya sebagai berikut :
a.
Pura-pura tidur atau mati
Beberapa hewan
berpura-pura tidur atau mati, misalnya tupai Virginia. Hewan ini
sering berbaring
tidak berdaya dengan mata tertutup bila didekati seekor anjing.
b.
Migrasi
Ikan salem raja di Amerika Utara
melakukan migrasi untuk mencari tempat yang
sesuai untuk bertelur.
Ikan ini hidup di laut. Setiap tahun, ikan salem dewasa yang
berumur empat sampai
tujuh tahun berkumpul di teluk disepanjang Pantai Barat
Amerika Utara untuk
menuju ke sungai. Saat di sungai, ikan salem jantan
mengeluarkan sperma
di atas telur-telur ikan betinanya. Setelah itu ikan dewasa
biasanya mati. Telur yang telah
menetas untuk sementara tinggal di air tawar.
Setelah
menjadi lebih besar mereka bergerak ke bagian hilir dan akhirnya ke laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar